Search..
Senin, 25 November 2013

'IBU' Tontonan Sarat Makna, Kaya Nuansa

00.29
Jakarta - Bagi Anda yang menghabiskan waktu libur di Jakarta, ada banyak alternatif kegiatan yang bisa dilakukan. Salah satunya menonton pertunjukan seni teater.

Selain memberikan hiburan, teater juga bisa mengasah imajinasi dan menjadi refleksi pribadi. Lakon terbaru yang saat ini sedang hangat dibicarakan adalah pertunjukan 'IBU' yang dipentaskan Teater Koma.

IBU berkisah tentang sosok Ibu Brani, yang hidup sebagai pebisnis di masa peperangan. Ia hidup berkelana bersama ketiga anaknya sambil mendorong gerobak yang berisi barang dagangan seperti minuman keras, pakaian bekas dan kebutuhan lainnya.

Walau perang memporak-porandakan seantero negeri, membuat kelaparan dan kematian, Ibu Brani justru menjadikannya peluang bisnis. Dia menyumpahi perdamaian sebab dirasanya akan membuatnya bangkrut. Dengan dingin, dia mengeruk keuntungan. Namun akhirnya dia sadar, perang akan merugikan tanpa peduli siapa menang atau kalah.

Wanita itu bernama Ibu Brani. Di tengah perang yang sarat dengan mesiu, kelaparan, daging yang sudah berbelatung serta bau kematian, dia justru mencium peluang bisnis.

Dia mengambil untung dari tengah perpecahan yang terjadi di negaranya tanpa memedulikan kehancuran dan kebobrokan yang terjadi.Tak peduli siapa lawan dan kawan, ia gampang memihak siapa saja pemenang perang.

Baginya persoalan itu semudah mengganti bendera di gerobaknya. Seperti namanya, ia juga tak pernah gentar menghadapi tentara. Tapi saat dua putranya Elip dan Keju Swiss direkrut menjadi tentara, Ibu Brani mulai bimbang

Namun sisi kemanusiaannya sebagai ibu yang tak berdaya tampak jelas ketika Keju Swiss ditangkap musuh dan hampir di dor di depan matanya. Dia dilema betul antara memilih ambisi pribadi dan terpaksa tidak mengakui Keju Swiss sebagai anak demi menyelamatkan dirinya. Namun tragis baginya, dua putranya dan Katrin, putrinya yang tuna wicara, akhirnya tewas karena perang.

Itulah secuplik kisah ‘IBU’ yang berlatar belakang perang di wilayah Eropa selama 30 tahunan pada abad 17. Karya dramawan Jerman Bertolt Brecht (1898-1956) ini aslinya berjudul Mutter Courage und ihre Kinder (Mother Courage and Her Children).

Nano Riantiarno, sutradara sekaligus pemilik Teater Koma menyadurnya kembali dan mengadaptasinya menjadi rasa Indonesia. Percampuran Jerman dan Indonesia disajikan lewat kostum, lagu, juga ornament seperti padi, tebu, terong, bawang, cabe, ketela, ubi kayu yang ada di pentas. Selain itu istilah dan nama pemain yang juga disesuaikan dengan lidah Indonesia.

Kisah perang berbau agama di Eropa itu memang bisa dibilang jauh dari Nusantara, dari segi waktu pun dari segi masalah. Namun persoalan perang ini ditarik menjadi perang yang bisa terjadi di mana pun, terutama yang menyangkut kekuasaan.

Penonton diajak merenungkan apakah memang ada yang benar-benar meraih untung dalam perangDalam konteks kekinian, lakon ini diarahkan pada pemilu 2014 yang menurut Nano, juga termasuk ‘perang’ dalam bentuk berbeda.

Maka “Ibu” tak lagi sekedar ibu biologis tapi dipersonifikasikan dalam makna yang lebih luas, bisa menjadi Negara dengan rakyatnya. “Siapakah Ibu kita sekarang ini? Yang ‘memerintah’ atau ‘penguasa’? ini pertanyaan yang sungguh serius,” kata Nano.

Jumat (1/11/2013) lalu detikHOT menonton lakon ini tepat pada pementasan hari pertama. Kelompok Teater yang akan genap berusia 37 tahun pada Maret 2014, seakan sudah memberikan jaminan di balik namanya.

Mulai dari akting, musik dan lagunya, dengan tata cahaya panggung dan keserasian gerak pemainnya, tak perlu diragukan kualitasnya. Soal akting dalam lakon Ibu, Sari Madjid memang top. Dia piawai menguasai naskah dia sebagai Ibu Brani yang mencakup 80 halaman dari total 100 halaman naskah drama dua babak itu.

Belum lagi belasan lagu lainnya yang harus dia hapal lirik dan nadanya. Tapi pemain kawakan seperti Rita Matu Mona, Budi Ros, Dorias PRibadi, Alex Fatahillah, Daisy Lantang, Supartono JW juga tampil maksimal.

Satu lagi, narasi dan lagunya yang sarat makna. Teater Koma memang dikenal suka menyelipkan kritik-kritik pedas di dalam dialognya. Tapi jangan khawatir, penonton juga sering dibuat terpingkal oleh dialog atau aksi yang jenaka.

Tiket seharga Rp 75.000 hingga Rp 300.000 rasanya cukup bernilai untuk menonton pertunjukan yang akan berlangsung setiap hari hingga 17 November di Graha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta ini.
Next
This is the most recent post.
Posting Lama